Hidup masih koma belum titik, begitulah status yang kutulis beberapa waktu lalu di wall facebook, status yang menurutku pantas untuk dijadikan sebagai penyemangat hidup, namun juga sebagai suatu keyakinan bahwa Allah bersama hamba-Nya. Kala itu kondisi tubuhku mulai tersiksa. Tersiksa bukan hanya karena kanker yang kuderita tapi juga krisis iman yang terus saja dicerca dan dimaki oleh para misionaris serta wanita-wanita cantik nan seksi berkebangsaan Israel.
Pantas saja jauh-jauh hari sebelum melancong ke Eropa, abah menasehatiku “harta boleh habis, tapi iman jangan sampai terkikis” pesan beliau selalu kuingat hingga detik ini. Sayangnya saat beliau menutup mata untuk terakhir kali, aku tak ada disampingnya, krn saat itu test beasiswa ke negeri kincir angin sedang kujalani. Alhamdulillah beasiswa itu kudapat, meski hatiku masih sedih atas kepergian abah.
Penjajah…aku datang, begitulah hati kecilku berteriak ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di negeri tulip. Sungguh…negeri ini memang cantik, saking cantiknya, museum yg sepertinya angker di Indonesia malah menjadi tempat wisata bagi para turis, mungkin lewat museumlah masyarakat Belanda belajar untuk menghargai tiap karya dan budaya serta mencintai tanah air khususnya (he he..sok nasionalis ya)
Hari demi hari yang kulewati berlalu dengan kebahagian, karena di negeri kincir ini aku melihat dunia yang berbeda. Berbeda….bukan karena di negeri ini di legalkan perkawinan sejenis atau karena harga wine lebih murah dari pada air mineral, tapi di negeri ini, umat muslimnya bersegara melangkahkan kaki ke masjid dan menutup toko-toko mereka untuk memenuhi panggilan Allah. Sungguh..pemandangan yang tak lazim di negeri mayoritas seagamis Indonesia.
Di lain hal banyak orang beranggapan bahwa aku manusia paling beruntung. Bisa kuliah di luar negeri, traveling kesana kemari, memiliki wajah cantik bak bidadari(he he..narsis amat ya). Tapi perlu diketahui kawan…menjadi mahasiswa Indonesia di benua Eropa tidaklah mudah, perlu mengumpulkan pundi-pundi euro untuk bisa beratahan hidup entah itu jadi penterjemah untuk buku-buku ilmiyah ataupun menjadi Au pair (sebutan untuk warga negara asing yg tinggal dirumah penduduk eropa, dengan catatan membantu pekerjaan rumah mereka tetapi diperolehkan untuk kuliah ataupun mengikuti kursus)
Menjadi Au pair lah yang pertama kulakukan ketika tuntutan hidup di Eropa terlalu tinggi, boleh dibilang akulah pahalawan devisa tanpa izin resmi dari Negara, karena ketika itu aku memang butuh uang tambahan, maka tawaran dari seorang kawan asal Jerman untuk melayani seorang madem paruh baya asal Israel kuterima. Wajar…ketika pertama kali aku bertandang kerumahnya madem ini menyebutku sebagai pelacur teroris karena kerudung yang kukenakan membuatnya gerah dan menukilkan kosa kata demikian.
Hampir 3 bulan aku berada dirumah madem Israel yang asri, karena halaman depan dari rumah ini memiliki taman yang di tata indah, kemudian perabotan rumah tangga didalamnya juga di susun sedemikian rapi, sehingga siapapun yang berada disini akan merasakan kenyamanan. Namun perlu di catat selama 3 bulan aku stay bersamanya cacian dan hinaan tentang Islam bukan lagi hal biasa, melainkan seperti minum obat 3 x sehari. Dilain hal ada juga tingkah lakunya yang membuatku terpana, karena setiap jam 4 subuh madem ini sudah bersih,rapi dan cantik, hal ini sama dengan prilaku Nabi kita di usia beliau 9 tahun. Rasanya..tak satuharipun aku menemukannya bangun diatas jam 5 meskipun saat itu musim dingin. Selain itu juga madem asal Israel ini tak pernah ketinggalan informasi terkini ataupun teknologi yang lagi booming saat ini, sehingga jangan heran di sisa usianya yang tinggal menunggu watu masih bisa mengoperasikan ipad bahkan bermain di adsense google. Satu hal yang paling membuatku kagum dengan tingkah lakunya, tak pernah sekalipun ia melewati hari-harinya tanpa membaca Talmud. “So…aku pernah ditegurnya berapa kali sehari kau baca dan fahami kitab suci mu Nak ???”
Sayangnya di bulan ke 4 madem ini pindah ke Paris, sehingga akupun tak bisa lagi meneliti setiap detil dari tingkahnya. Di bulan ke 4 ini juga aku kembali tinggal di apertemen bersama teman-teman satu fakultas namun beda Negara, ada dari Iran namanya Khalisa, dari Jerman namanya Ester dan dari Perancis namanya Atira(blesteran Israel dan Itali). Merekalah teman dekat namun beda keyakinan, Cuma Khalisa yang sealiran denganku tapi sayangnya di event-event tertentu saja dia pakai kerudung.
Meski menetap di apertemen namun seminggu dua kali aku menjadi guru les bahasa Indonesia di rumah keluarga Kristen koptik asal Spanyol, mereka menghormatiku sebagai tenaga pendidik bahkan memberikanku waktu jika ingin menunaikan shalat 5 waktu, karena di Belanda waktu shalat berubah-rubah, kadang jeda waktu antara shalat isya dan subuh hanya 40 menit. Keluarga ini boleh dibilang keluraga yg unik, mereka tak makan babi dan melarang anak-anak mereka meminum wine kecuali jika anak-anak mereka sudah berumah tangga. Kepala keluarga ini seorang dokter forensik, sesekali ia share ilmunya kepadaku, dari forensik DNA, Tanatologi dll. Jujur..aku serasa mengulang kembali koass di bagian forensik. Rasanya inilah keluarga kedua setelah teman-teman dari KBRI.
Terbukti ketika aku masuk rumah sakit untuk operasi kanker, keluarga inilah yang banyak berperan, tidak terkecuali teman-teman semua, termasuk Khalisa yang selalu setia melantunkanku ayat-ayat Al Quran. Inilah secuil kisahku di negeri kincir, semoga bermanfaat untuk siapapun…amin
Note :
Tanatologi : adalah Ilmu yang mempelajari tentang kematian, perubahan-perubahan yang terjadi setelah mati dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
di tulis oleh Meisya